Menag Menolak Gugatan Terhadap UU Perkawinan ke MK

JAKARTA - Sejumlah orang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pernikahan yang dipandang tidak menjamin hak-hak asasi manusia. Mereka menuntut agar perkawinan beda agama, antar jenis, dan model-model perkawinan seperti di Barat di legalkan.

Salah satu pemohon uji materi Undang-Undang Pernikahan ke Mahkamah Konstitusi, Anbar Jayadi, menyebut alasan pihaknya mengajukan gugatan karena melihat mobilitas warga Indonesia saat ini. Menurut dia, saat ini, dalam pernikahan warga negara tidak lagi terpaku dengan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan setiap warga negaranya.

Anbar berpendapat, biarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.

"Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya, akan suka sama siapa, akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas," kata Anbar di Gedung MK, Kamis (4/9/2014) sore.

Anbar menampik bahwa alasan gugatan ini berdasarkan pengalaman pribadi dirinya ataupun teman-temannya. Anbar yakin, dengan semakin tingginya mobilitas warga negara Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan, UU Pasal 2 ayat 1 No 1/1974 ini akan memperbanyak warga yang status hukum perkawinannya tidak mempunyai kepastian.

"Untuk itu, UU perkawinan ini urgent untuk dilakukan judicial review," ucap Anbar.

Seperti diketahui, Anbar dan empat orang temannya dari alumni FH UI mengajukan uji materi (judicial review) terkait UU Pernikahan, yaitu Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974. UU yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu". UU ini dianggap telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.

Mereka meminta agar MK memutuskan UU yang disebutkan dalam gugatannya itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 karena tidak punya kekuatan hukum yang mengikat.

Dibagian lain, peneliti dari Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  mengakibatkan diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah.

"Di Indonesia, UU Perkawinan mengandung pasal di mana orang dibikin sulit bila hendak menikah dengan (pasangan) yang beda agama. Mereka yang ingin nikah beda agama harus mengalah dengan mengikuti agama pasangannya. Diskriminasi bukan?" kata Andreas kepada Kompas.com melalui pesan elektronik, Jumat (5/9/2014) malam. 

Andreas menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini, kata dia, sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights. 

Namun, di Indonesia, Andreas melihat UU Perkawinan justru mengandung pasal yang mempersulit orang yang ingin nikah beda agama karena harus mengorbankan agama dan kepercayaan yang dianut. "Artinya, unsur free and consent dilanggar oleh UU Perkawinan," ucap Andreas yang juga seorang wartawan senior itu.

Untuk itu, Andreas menyatakan sangat mendukung upaya lima orang mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 itu ke Mahkamah Konstitusi. Andreas juga mengapresiasi langkah hukum pemohon judicial reviewkarena adanya keinginan untuk memperkuat hukum di Indonesia dengan saluran yang ada. 

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin angkat bicara soal gugatan uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur tentang syarat pernikahan. Menurut dia, keinginan agar pernikahan berbeda agama dilegalkan di Indonesia sangat sulit direalisasikan.

"Masyarakat Indonesia sangat religius, sangat menjunjung tinggi nilai agama. Di negara mana pun, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, dan ritual pernikahan tidak bisa lepas dari nilai-nilai religiositas dari yang menjalani," ucap Lukman saat dihubungi, Kamis (4/9/2014) malam.

Sementara itu, Lukman mengatakan, apabila pernikahan beda agama dilegalkan, maka masalah lain yang akan muncul pun tak kalah sulitnya.

"Ketika menikah beda agama, maka pakai agama yang mana? Apakah laki-laki atau perempuan? Ini jadi persoalan," ucap dia.

Setiap agama, kata Lukman, meyakini bahwa aturan yang diterapkannya adalah yang terbaik. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menyatukan cara pandang antar-agama.

"Fondasi suatu pernikahan berbeda karena cara pandang setiap agama berbeda. Itulah kenapa alasannya perkawinan beda agama tidak ditoleransi," ucap politisi PPP itu.

Sebelumnya, mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 ke MK. Pasal tersebut berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu."

Memang, sering pernikahan ini dijadikan sarana pemurtadan, dan banyak pasangan beda agama menikah, mulai laki-laki kristen yang menikahi perempuan Muslim, pertama-tama dia masuk Islam, sesudah memupunyai anak, kemudian laki-laki itu kembali ke agama asalnya, kristen.

Modusnya, laki-laki itu akan berusaha memaksa istrinya pindah agama kristen. Kalau tidak mau istrinya diancam dicerai. Apalagi, pasangan itu sudah mempunyai anak. Jadi istrinya yang Muslimah itu tersandera. Banyak akal 'bulus' orang Kristen itu.


Sumber: Voa-Islam
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Share this article :
 
 
Support : Online Store | Indahnya Kebersamaan | Information Teknologi
Copyright © 2011. Indonesia Hari Ini - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger