Menurutnya, semangat pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap APBN tidak terlihat. "Semangat penghematan dan semangat penyehatan tidak terlihat," ujar Ekonom Indef Eko Lisyanto, Ahad (16/6).
Dia menjelaskan, esensi penghematan tidak tercermin dalam APBN-P karena posturnya lebih ekspansif dari yang pertama. Di dalam RAPBN-P tersebut, belanja pemerintah meningkat, utang naik, sedangkan penerimaan pajak turun.
Pendapatan perpajakan turun sebesar Rp 53,6 triliun, sedangkan belanja naik Rp 39 triliun, dan belanja lain-lain meningkat Rp 53.6 triliun. Eko mengatakan, RAPBN-P tersebut banyak sekali penambahan yang tidak diperlukan, seperti utang dan defisit.
"Pemerintah cenderung berutang untuk menyelesaikan segalanya," ujar dia. Utang sebenarnya bisa membantu menstimulasi perekonomian, tetapi kualitas belanja pun harus diperhatikan.
Menurutnya, di dalam anggaran ada utang yang cenderung tak dikurang. Banyak komitmen utang yang tak terealisasi sehingga akan menjadi beban pemerintah ke depannya."Penyerapan harus bagus. Kualitas belanjanya juga harus bagus," ujar dia.
Ia mengatakan, kualitas belanja dalam RAPBN-P tidak bagus karena 60 persennya habis untuk subsidi dan belanja pegawai. Padahal, di saat bersamaan harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan untuk mengurangi subsidi.
Pemerintah menaikkan harga premium sebesar Rp 2.000 dan solar sebesar Rp 1.000. Namun, subsidi BBM juga tetap naik dari Rp 194 triliun menjadi Rp 210 triliun. "Subsidi BBM sangat besar. Secara umum, postur APBN-P tak realistis," ujar dia.
Beberapa kesepatan yang dimasukan dalam RUU tersebut antara lain defisit anggaran 2,38 persen atau Rp 224,186 triliun. Angka 2,38 persen diperoleh dari selisih antara pendapatan negara Rp 1.502,005 triliun dan belanja negara Rp 1.726,191 triliun.
Defisit anggaran yang disepakati menurun dibandingkan RAPBNP 2013 yang diajukan pemerintah sebesar 2,48 persen atau Rp 233,705 triliun. Rinciannya, pendapatan negara Rp 1.488,325 triliun dan belanja negara Rp 1.722,030 triliun.
Asumsi dasar ekonomi makro antara lain pertumbuhan ekonomi ditetapkan 6,3 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp 9.600, inflasi 7,2 persen, suku bunga/SPN 3 bulan 5,0 persen, harga minyak ICP 108 dolar AS per barel, lifting minyak 840 ribu bph dan lifting gas 1.240 ribu bph setara minyak.
Sumber: Republika
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone