Anak Indonesia di bawah ancaman iklan rokok

Jakarta - Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Anak dari Zat Adiktif bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak komisi I DPR-RI untuk segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU Penyiaran di sisa masa sidang Anggota DPR-RI periode 2009-2014.

Lambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di DPR dinilai sebagai bentuk kejahatan terhadap anak. DPR dan pemerintah dinilai lalai sehingga membiarkan anak terus terpapar rokok karena informasi yang tidak patut di media penyiaran.

Ketua KPAI HM Asrorun Niam Sholeh bersama Muhammad Joni selaku Indonesian Lawyers Association On Tobacco Control dan Hery Chariansyah, Direktur Eksekutif Lentera Anak sepakat bahwa RUU Penyiaran yang disahkan harus mengatur tentang pelarangan iklan rokok di media penyiaran sebagai upaya perlindungan anak dari zat adiktif rokok.

Menurut Asrorun Niam, lambatnya pembahasan RUU ini berdampak negatif terhadap upaya perlindungan anak dari zat adiktif rokok.

"Ini bisa disebut sebagai kejahatan terhadap anak karena lalai dan membiarkan anak secara terus menerus mendapatkan informasi yang tak patut dan tereksploitasi tanpa perlindungan pasti dari negara," ujarnya.

"Bila komisi I DPR-RI tidak mampu menyelesaikan pembahasan RUU Penyiaran dan mengesahkan di akhir masa sidang maka Komisi I harus bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan kepada publik kenapa RUU Penyiaran yang sudah dibahas sejak 2011 ini tidak mampu diselesaikan," kata dia.

Asrorun Niam Sholeh menilai DPR tidak punya komitmen melindungi anak. Bila iklan rokok diloloskan dalam RUU Penyiaran, bertentangan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. UU Kesehatan yang menyatakan rokok sebagai zat adiktif, seperti minuman keras dan lainnya, sehingga tidak boleh diiklankan.

Fakta menunjukkan, rokok tidak hanya membahayakan kesehatan anak, tetapi juga meningkatkan prevalensi perokok anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2010 menyebutkan perokok usia di bawah lima tahun (balita) ditemukan hampir di seluruh Indonesia. Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan 70 persen perokok di Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun.

Kajian iklan rokok di televisi tahun 2012 menemukan iklan rokok memengaruhi persepsi remaja tentang rokok dan perilaku merokok. Di Indonesia 92 persen remaja putri pernah melihat iklan rokok, dan memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk merokok dibanding mereka yang kurang paparan pesan rokok.

"Fakta ini seharusnya membelalakkan mata pengambil kebijakan membuat langkah pencegahan, termasuk melalui regulasi larangan iklan rokok. Pemerintah dan DPR masih setengah hati untuk meloloskan pasal ini," kata Asrorun.

Sementara itu, Direktur Lentera Anak Indonesia Hery Chariansyah mensinyalir semakin panjang pembahasan RUU Penyiaran, makin lama dan banyak pula anak-anak yang terpapar iklan rokok. Padahal, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan anak yang menjadi korban zat adikif membutuhkan perlindungan khusus. Negara wajib memberikan perlindungan khusus itu, salah satunya melalui pencegahan anak dari zat adiktif rokok.

Keberadaan RUU Penyiaran ini untuk menggantikan UU No 32 Tahun 2002 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan, kondisi dan hukum yang ada. "Salah satunya pengaturan tentang iklan rokok," katanya.

Lembaga penyiaran terutama televisi bagi industri rokok merupakan media strategis untuk mengiklankan produk adiktif karena siarannya dapat memasuki dan menembus ruang keluarga, ruang tidur masyarakat secara serentak dan meluas tanpa diundang.

"Lambatnya pembahasan RUU Penyiaran bisa dikatakan "crime by comission", yaitu kekerasan yang dilakukan negara karena membiarkan anak dalam kondisi tidak baik. Tidak dipungkiri dengan strategi marketing industri rokok melalui iklan di media penyiaran akan menjadikan anak dan remaja sebagai target pasar dan perokok pengganti," kata Hery Chariansyah.

Memprihatinkan

Permasalahan merokok pada anak di Indonesia sudah mencapai taraf yang sangat memprihatinkan. Sebanyak 62,5 persen perokok mulai merokok saat remaja sebelum usianya mencapai 19 tahun (Riskesdas 2010). Sementara itu Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan peningkatan prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun yang selama kurun waktu 3 tahun naik lebih dari 1,5 kali lipat yaitu dari 12,6 persen tahun 2006 menjadi sebesar 20,3 selanjutnya tahun 2009: laki-laki dari 24 persen menjadi 41 persen dan perempuan dari 2,3 persen menjadi 3,5 persen pada periode sama.

Ketua Indonesian Lawyers Association on Tobacco Control (ILATC), Muhammad Joni mengatakan Baleg DPR punya banyak masalah dengan urusan rokok ini. Selain RUU Penyiaran, Baleg juga meloloskan RUU Pertembakauan yang oleh banyak kalangan diduga pesanan industri rokok.

"Karenanya kami mendesak agar dikembalikan ke draft awal, bahwa iklan rokok harus dilarang. Rokok masuk kualifikasi zat adiktif, maka tidak masuk akal bila minuman keras dilarang tetapi produk tembakau tidak," kata Joni.

Menurutnya, mengiklankan rokok seperti pengecualian yang tidak bertanggung jawab, karena membuat perokok anak terus meningkat. Ada rekayasa gelap yang dilakukan untuk membuat iklan rokok tetap lestari di Indonesia.

Menurut Joni, larangan iklan rokok di media penyiaran sangat penting bagi Indonesia menghadapi Pasar Bebas Asean 2015. Sebagaimana diketahui, semua negara di Asean telah melarang iklan rokok di media penyiaran, termasuk negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Hanya Indonesia yang membolehkan.

Dari sisi perbatasan antar negara, larangan iklan rokok harus menjadi pertimbangan. Iklan rokok tidak hanya menjadi masalah bagi Indonesia sendiri, tetapi dalam pergaulan internasional dan regional.

"Ketika media massa Indonesia bisa dipancarkan sampai ke batas negeri tetangga, bisa terjadi persoalan regional. Pasalnya, warga dari negara yang sudah dilindungi dari iklan rokok akan tercemar iklan rokok yang mestinya jadi tanggung jawab negara," katanya.

Kementerian Kesehatan menyebutkan jumlah perokok di Indonesia sampai saat ini tercatat sekitar 66 juta jiwa, dan perokok usia muda dan wanita setiap tahunnya mengalami peningkatan.

"Setiap tahunnya jumlah perokok alami peningkatan bahkan kini bertambah dikalangan usia muda dan wanita," kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi usai kunjungan kerja ke Provinsi Banten di RSUD Kota Tangerang, Senin (23/6). Ironisnya, peningkatan perokok terjadi pada remaja usia 16--19 tahun. Kemudian, dari total 66 juta jiwa perokok, sebanyak 33 persen diantaranya warga kurang mampu.

Merokok bagi perokok sudah menjadi kebiasaan dan sangat sulit ditinggalkan. Biasanya, merokok berhenti saat perokok alami sakit parah. "Sebagian besar penyakit yang dialami warga saat ini karena disebabkan rokok. Oleh karena itu, Kemenkes secara berkala melakukan kampanye mengenai bahaya merokok kepada masyarakat".

Kementrian Kesehatan telah melibatkan seribu puskesmas dan 200 rumah sakit sebagai media konseling untuk warga yang ingin berhenti merokok. Bahaya rokok, lanjut Menkes, dapat menghambat perkembangan generasi muda.

"Rokok yang memiliki zat adiktif, sangat berbahaya bagi syaraf dan peredaran darah. Maka itu, kita selamatkan generasi muda dari rokok," ujarnya.

Sumber: Antara
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Share this article :
 
 
Support : Online Store | Indahnya Kebersamaan | Information Teknologi
Copyright © 2011. Indonesia Hari Ini - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger