Subsidi yang salah sasaran

Oleh Nasihin Masha

Diam-diam, Kementerian Keuangan melakukan roadshow ke sejumlah menteri. Mereka menenteng data statistik subsidi listrik. Mereka memperlihatkan ada persoalan struktural yang membuat subsidi salah sasaran. Melihat data yang mengejutkan itu, seorang menteri berseloroh, tak perlu orang pintar untuk mengatur tarif listrik, semua disamaratakan begitu saja.

Industri padat modal, industri milik asing, dan mal mendapat tarif listrik yang sama dengan industri padat karya, industri kecil, dan juga konsumen rumah tangga. Penentuan tarif listrik tak didasarkan pada struktur konsumen. Ibarat memberi makanan yang sama untuk orang jompo, dewasa, remaja, maupun bayi.

Berdasarkan data, 55 industri besar menikmati lebih dari seperempat total subsidi di sektor industri. Sebagai contoh, per tahun Krakatau Steel menikmati subsidi Rp 700 miliar, Holcim Rp 700 miliar, Asahimas Rp 600 miliar, Indocement Rp 500 miliar, Semen Gresik Rp 400 miliar. Dan, Sulfindo, Ispat Indo, Semen Padang, Gunung Garuda, dan Jakarta Prima masing-masing menikmati subsidi Rp 300 miliar.

Subsidi untuk listrik dalam 11 tahun mengalami kenaikan 24 kali lipat. Pada 2000, subsidi listrik masih Rp 3,9 triliun dan pada 2012 menjadi Rp 100,1 triliun. Sedangkan, pada 2011 Rp 93 triliun dan 2008 Rp 78,6 triliun.

Salah sasaran yang bersifat struktural juga terjadi pada subsidi BBM untuk kendaraan. Tahun ini, subsidinya Rp 193,8 triliun. Tapi, menurut Said Didu, ketua umum Persatuan Insinyur Indonesia, subsidi BBM untuk kendaraan pun salah sasaran. Sekitar 94 persen penikmat BBM subsidi adalah kendaraan pribadi, 80 persen orang mampu, dan 90 persen tinggal di kota.

Hanya empat persen yang merupakan kendaraan angkutan umum dan dua persen angkutan barang. Ia menghitung, jika dana subsidi yang salah sasaran itu dialihkan untuk pembangunan infrastruktur maka bisa membangun 30 ribu kilometer empat jalur rel kereta api single track atau enam ribu kilometer jalan tol (tak termasuk pengadaan tanah), atau membangun 20 ribu megawatt PLTU.

Salah sasaran subsidi BBM kendaraan itu diperbandingkan Said Didu dengan subsidi untuk Pelni yang kurang dari Rp 1 triliun. Padahal, kapal-kapal milik Pelni mengangkut penumpang antarpulau. Mereka inilah masyarakat kelas bawah yang harus banyak dibantu. Atau, subsidi pupuk yang Rp 16 triliun. Padahal, ada 35 juta keluarga petani yang bisa lebih produktif jika mendapat subsidi yang lebih besar.

Mereka adalah orang-orang miskin yang justru menyediakan pangan untuk kita. Akibat lemahnya sektor pertanian-penyediaan pupuk murah, kecukupan benih, maupun inovasi perbenihan yang lebih kompetitif-kita dibanjiri produk sayur dan buah impor.

Seorang menteri bidang ekonomi bercerita, jika saja subsidi yang salah sasaran itu bisa dialihkan, problem infrastruktur Indonesia akan banyak terpecahkan. Sebagai contoh, untuk membangun jalan lintas Sumatra yang berkualitas, hanya dibutuhkan dana Rp 100 triliun. Tiap tahun, kita mengeluarkan subsidi BBM sekitar Rp 300 triliun.

Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan problem infrastruktur di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan juga di wilayah-wilayah Indonesia timur. Semua bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan. Tapi, semua itu hanya pengandaian. Problem struktural subsidi salah sasaran tersebut telah diketahui para pengambil keputusan.

Namun, kita seolah masuk jalan buntu. Kita biarkan kesalahan itu berlalu terus-menerus seakan tak ada masalah. Kita pejamkan mata, kita matikan rasa, kita gelapkan batin. Bak burung unta yang membenamkan kepalanya di pasir. Kegelapan dirinya dipersepsikan dunia tak lagi ada cahaya. Seolah dunia gelap gulita. Padahal, semua menyaksikan keterangbenderangan.

Kita tak bisa sembunyi, seperti hitam yang tak bisa sunyi di atas putih. Kita tak berada di jalan buntu. Kita ada di hamparan yang lapang. Kita bisa memilih. Itulah kuasa kita sebagai manusia merdeka. Subsidi adalah keharusan untuk memproteksi dan membantu pihak yang belum beruntung. Subsidi bukan makhluk haram.

Subsidi juga bukan crash program, melainkan langkah cerdas untuk menjaga keseimbangan sosial. Kesalahan struktural subsidi justru merusak keseimbangan. Jika kita mengenal istilah kemiskinan struktural-menjadi miskin permanen dan turun-temurun akibat kondisi struktur sosial-maka kini kita sedang dikenalkan pada kekayaan struktural. Apakah kita akan diam permanen?

Sumber: Republikaonline
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Share this article :
 
 
Support : Online Store | Indahnya Kebersamaan | Information Teknologi
Copyright © 2011. Indonesia Hari Ini - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger